Manusia Topeng, Pilihan Ada di Kita

 


Ramadhan telah berlalu. Syawal pun tiba dengan segala tradisinya—termasuk halal bi halal yang jadi momen hangat untuk saling memaafkan. Di kantor, kita bersalaman, tersenyum, bahkan kadang berpelukan. Namun, izinkan saya bertanya jujur: Apakah hati kita juga ikut berdamai, atau hanya sekadar mengikuti formalitas?

Di tengah euforia Syawal, terkadang muncul fenomena yang perlu kita waspadai: manusia topeng. Sosok yang menampilkan wajah ramah dan penuh empati, tapi sejatinya menyimpan banyak kepalsuan. Ia bisa tampil seolah paling peduli, tapi dalam diam merancang skenario untuk menjatuhkan. Hari ini tersenyum, besok menyerang dari belakang.

Dalam dunia ASN, manusia topeng ini bisa sangat meyakinkan. Ia hafal jargon pelayanan publik, lihai menyusun narasi kinerja, tapi lupa pada satu hal: kejujuran batin. Mereka lebih sibuk menjaga citra daripada menjaga nurani.

Silaturahmi Imitasi: Antara Lisan dan Hati yang Tak Menyatu
Tradisi halal bi halal jadi panggung utama manusia topeng. Kata maaf diucapkan, tangan dijabat, tapi tak disertai keinginan tulus untuk berubah. Silaturahmi pun hanya jadi kemasan—bukan karena ingin memperbaiki hubungan, tapi agar terlihat baik di mata publik atau atasan.

Lebih parah, ada yang menganggap halal bi halal sebagai "penghapus dosa otomatis", padahal esensi maaf adalah perbaikan perilaku, bukan pengulangan kesalahan. Ketika memaafkan hanya jadi retorika, kita sedang mereduksi nilai luhur Syawal menjadi sekadar seremonial tahunan.

Kadang, manusia topeng merasa hidupnya lancar-lancar saja. Jabatan naik, rezeki mengalir, dihormati banyak orang. Tapi bisa jadi itu bukan keberkahan, melainkan istidraj—kenikmatan yang justru menjauhkan dari kebaikan. Sebab, segala yang terlihat baik belum tentu benar. Dan yang tenang belum tentu damai.

Refleksi ASN Berkelas
Di sisi lain, kita bisa memilih untuk tak mengenakan topeng. Kita bisa tampil apa adanya—bukan tanpa etika, tapi tanpa kepalsuan. ASN yang tulus tidak sibuk mencari pujian, tapi fokus pada perbaikan diri dan pelayanan yang jujur.
ASN seperti ini sadar, silaturahmi bukan soal gengsi dan jabatan, tapi tentang merawat hubungan yang jujur antara manusia dan Tuhannya, serta sesamanya.

Jika manusia topeng adalah simbol kemunafikan, maka ulat adalah simbol harapan. Meski tampak menjijikkan, ulat mau menjalani proses: menjadi kepompong, lalu berubah jadi kupu-kupu. ASN yang bertobat dan memperbaiki diri pun seperti itu. Ia tahu proses itu menyakitkan, tapi hasilnya adalah kematangan hati, keindahan akhlak, dan ketulusan dalam bekerja.

Syawal memberi kita pilihan. Ingin terus memakai topeng yang indah tapi rapuh, atau mulai menjalani hidup apa adanya dengan hati yang bersih?
Ramadhan seharusnya menyisakan bekas: lebih sabar, lebih jujur, lebih peduli. Syawal adalah ujiannya. Mari jangan sia-siakan momen ini hanya untuk tampil baik, tapi jadikan ia titik balik untuk menjadi baik.

Semoga kita bukan ASN yang hanya sibuk "terlihat" saleh, tapi benar-benar berproses menjadi pribadi yang utuh—jujur di hati, ikhlas dalam pengabdian.

Pekanbaru, 19 April 2025

Oleh: Andriandi Daulay

Follow me on

FB       :Andrikepegawaianriau
Youtube  :@AndriandiDaulay
Istagram :@Andrikepegawaianriau
tiktok   :@AndriandiDaulay
LinkedIn :@Andriandi Daulay


*) Opini ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar