Implementasi Work From Home (WFH) Terhadap Produktifitas Kinerja Pegawai


Abstrak

Kerja ASN di Era New Normal menjadi berubah dengan adanya Pandemi Covid 19 ini, termasuk dalam tatanan sistem kerja. Salah satu upaya pemerintah dalam upaya pencegahan Covid-19 adalah bekerja dari rumah atau yang dikenal dengan istilah work from home (WFH). Kebijakan yang diberlakukan secara mendadak memberikan tantangan bagi ASN dalam pelaksanaannya. Sistem Kerja baru memberikan terhadap hasil kerja itu sendiri baik positif dan negatif terhadap instansi maupun bagi pegawai yang kemudian berdampak pula pada produktivitas. Dengan memperhatikan pada dampak positif, negatif dan produktivitas tersebut, maka akan memberikan gambaran mengenai perlu atau tidaknya sistem kerja WFH ini dilanjutkan setelah pandemi berakhir. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah studi literatur. Tindak lanjut dari Kajian literatur pada tulisan ini adalah dibutuhkan tindak lanjut penelitian selanjutnya untuk memperoleh data yang dapat digunakan sebagai dasar perumusan rekomendasi untuk kebijakan sistem kerja bagi ASN kedepannya.

Pegawai Aparatur Sipil Negara selanjutnya disebut Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan pegawai pemerintahan Indonesia yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara). Manajemen Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Permerintah nomor 11 tahun 2017, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2020 yang menuntut kualitas dan kinerja Pegawai Negeri Sipil yang mampu secara komprehensif dan terperinci menjelaskan posisi, peran, hak dan kewajiban Pegawai Negeri Sipil.

Berdasarkan Surat Edaran MENPAN RB Nomor 58 Tahun 2020, untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik, agar melakukan penyederhanaan proses bisnis dan SOP pelayanan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, menggunakan media informasi untuk penyampaian standar pelayanan baru melalui media publikasi, membuka media komunikasi online sebagai wadah konsultasi maupun pengaduan. Selain itu, penyelenggaraan rapat dan/atau kegiatan tatap muka agar memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi atau melalui media elektronik lainnya yang tersedia. Dalam hal penilaian kinerja pegawai, PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) pada K/L/Daerah memastikan agar unit kerja melakukan penyesuaian proses bisnis dan standar operasional prosedur, dan melakukan perhitungan kembali Analisis Beban Kerja yang mengadaptasi tatanan normal baru produktif dan aman Covid-19 tanpa mengurangi sasaran kerja dan target kinerja.

Surat Edaran MENPAN RB Nomor 58 Tahun 2020, diubah dengan SE No 67 Tahun 2020 tanggal 4 September 2020 dengan penambahan substansi dimana pembagian pelaksanaan WFH dan WFO pegawai didasarkan pada data zonasi risiko yang dikeluarkan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Pengaturan jumlah pegawai sebagaimana dimaksud diatur berdasarkan zona kabupaten/kota tempat instansi berada berdasarkan kategori, meliputi :
  1. Tidak Terdampak/tidak ada kasus, maka jumlah pegawai yang melaksanakan WFO paling banyak 100%;
  2. Risiko Rendah, maka jumlah pegawai yang melaksanakan WFO paling banyak 75%;
  3. Risiko Sedang, maka jumlah pegawai yang melaksanakan WFO paling banyak 50%, dan
  4. Risiko Tinggi, maka jumlah pegawai yang melaksanakan WFO paling banyak 25%.
Memasuki bulan keempat ditahun 2021 ini, adanya peningkatan jumlah pasien positif Virus Corona di Kota Pekanbaru dan adanya pasien positif Virus Corona dari Kalangan Pegawai ASN. Sehingga Walikota Pekanbaru mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 800/BKPSDM-PKAP/679/2021, tanggal 30 April 2021, tentang Penyesuaian Sistem Kerjaa Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Tenaga Harian Lepas (THL). Jadwal kerja yang ditetapkan yang hadir dikantor sebanyak 50 % (lima puluh persen) dari jumlah pegawai ASN dan Tenaga Harian Lepas (THL). Sedangkan implementasi WFH di Badan Kepegawaian Negara (BKN) dimana pada tanggal 21 Maret 2020 Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 3/SE/III/2020 tentang perubahan atas SE Kepala BKN Nomor 2/SE/III/2020 tentang pencegahan penyebaran Covid-19 bagi pegawai di lingkungan BKN (BKN, 2020b) yang menyebutkan bahwa pegawai yang bertugas pada bidang pelayanan protokol, kesehatan, persuratan, keamanan, teknisi, pengemudi dan petugas kebersihan dan/atau sesuai kebutuhan tetap bekerja di kantor dengan komposisi pegawai yang bekerja di kantor 10?ri total jumlah pegawai bidang yang disebutkan tersebut. Bagi pegawai yang tidak terlibat pada kegiatan perkantoran dengan bidang tersebut dapat sepenuhnya bekerja di rumah. Dalam hal pelaporan kinerja, BKN memiliki aplikasi e-kinerja, yang mendukung pelaksanaan WFH untuk melihat progress pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan setiap harinya.

Pada tanggal 5 Juni 2020, dikeluarkan SE Nomor 15/SE/VI/2020 tentang Sistem Kerja Pegawai dalam tatanan Normal Baru di lingkungan BKN (BKN, 2020), yang menyebutkan bahwa keterwakilan pekerja yang hadir di kantor adalah minimal 10 % maksimal 50% dari jumlah pegawai pada unit kerja. penjadwalan tersebut dibuat setiap bulan dan dilaporkan ke biro SDM. Namun bagi pegawai yang sedang bekerja di rumah, harus siap sewaktu-waktu datang ke kantor jika dibutuhkan. Pelaporan kinerjanya menggunakan e-kinerja, dan jam kerja saat di kantor adalah 5 (lima) jam kerja, sedangkan bekerja di rumah adalah 7,5 jam.

Dampak Positif Work from Home (WFH) Sistem kerja WFH mampu memberikan keuntungan baik bagi Instansi maupun bagi pegawai. Bagi Instansi, WFH memberikan keuntungan dikarenakan berbagai biaya dapat dipotong, seperti biaya sewa gedung, asrama pegawai, dan fasilitas pendukung kerja lainnya yang digunakan untuk pegawai yang bekerja (Mustajab et al., 2020). Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Wakil Menteri Keuangan, Suahazil Nazara dalam acara Publik Expenditure Review World Bank, bahwa dalam masa pandemi, pemerintah menghemat semua anggaran untuk perjalanan dinas luar kota dan luar negeri dikarenakan rapat dan pertemuan dilakukan secara virtual. Selain itu, biaya konsumsi rapat pun dapat dihemat (Bisnis, 2020). Dari sisi pegawai, Healthfield (2019) dalam Mungkasa (2020) menjelaskan bahwa Pegawai yang melakukan pekerjaan dengan sistem jarak jauh dapat menghindari kemacetan sehingga dapat mengurangi waktu perjalanan dan mengurangi tingkat stres. Selain itu, menghemat waktu dan mengurangi biaya perjalanan.

Namun yang terjadi di Lokasi saya bekerja justru kebijakan WFH dijadikan sebagai alasan untuk tidak mengerjakan pekerjaan itu sendiri, sehingga dampak Negatif Work from Home Sistem WFH yang diterapkan secara mendadak tidak serta merta dapat dilaksanakan dengan mudah oleh para pegawai. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor baik dari faktor pekerjaan maupun dari faktor individu pegawainya. Contohnya, beberapa jenis pekerjaan masih mengandalkan berkas fisik dan juga peralatan kerja kantor, sehingga membuat pegawai tetap harus datang ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaan. Jika pegawai tersebut harus bekerja di rumah, maka bisa jadi tidak ada pekerjaan yang dapat dia lakukan. Solusi berikutnya mungkin saja diberlakukan digitalisasi pekerjaan. Namun hambatan lain yang muncul setelahnya bisa jadi adalah permasalahan adaptasi pegawai dengan sistem kerja jarak jauh yang sepenuhnya mengandalkan teknologi dan kurang mampunya pegawai dalam mengoperasikan teknologi.

Beberapa dampak negatif yang timbul akibat penerapan WFH (Work from Home)adalah:
  1. Multitasking, Multitasking lebih dirasakan oleh para pegawai perempuan terutama yang sudah berumah tangga dan memiliki anak dikarenakan peran ganda yang mereka miliki. Tanggungjawab penyelesaian pekerjaan kantor dan pekerjaan rumah membuat para pegawai perempuan merasakan beban kerja yang berlebih dan hal tersebut menimbulkan stress kerja. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika ada peran pasangan yang juga ikut terlibat di dalam penyelesaian pekerjaan di rumah. Sebaliknya, yang terjadi adalah meningkatnya kualitas hubungan secara harmonis dikarenakan adanya kerja sama dan team work (Mustajab et al., 2020).
  2. Semangat Kerja Menurun, Semangat kerja yang menurun dirasakan oleh pegawai yang mengalami dilema dikarenakan pola pikir bahwa rumah adalah tempat untuk beristirahat, bukan tempat untuk bekerja. Hal tersebut membuat pegawai menjadi kehilangan fokus dalam menentukan apakah mereka harus bekerja atau bersantai bersama keluarga untuk menghabiskan waktu selama masa karantina pandemi Covid-19. Menurunnya semangat kerja juga dapat dikarenakan banyak gangguan di rumah seperti ajakan untuk berbincang dengan keluarga, melakukan chat bersama teman atau memantau sosial media, serta godaan untuk bersenang-senang seperti menonton TV, bermain bersama anak, mengerjakan sesuatu yang sesuai hobi, sehingga berakibat pada penundaan pekerjaan (Mustajab et al., 2020). Hal ini juga dapat disebabkan karena tidak terlihat batasan jelas antara kantor dan rumah, bahkan cenderung waktu kerja menjadi tanpa batasan (Mungkasa, 2020).
  3. Biaya yang Bertambah, Hal yang pasti dirasakan oleh pegawai yang bekerja dari rumah adalah mening-katnya biaya/pengeluaran seperti biaya listrik, biaya pulsa untuk berkomunikasi dan penyediaan jaringan internet (Mustajab et al., 2020). Penambahan biaya ini terjadi dikarenakan intensitas penggunaannya juga meningkat di-karenakan biaya yang tadinya tidak dikeluarkan oleh pegawai karena mereka menggunakan fasilitas kantor, saat bekerja di rumah menjadi tanggungan pribadi pegawai.
  4. Distraksi, Selama pelaksanaan WFH, pegawai merasakan adanya distraksi yang menghambat penyelesaian pekerjaan mereka seperti distraksi teknis dan distraksi sosial. Contoh distraksi teknis adalah gangguan peralatan kerja yang tidak mendukung serta gangguan jaringan komunikasi. Distraksi sosial contohnya adalah distraksi yang berasal dari keluarga di rumah (Mustajab et al., 2020).
  5. Keterbatasan Komunikasi, Sistem kerja WFH membuat pegawai tidak bertemu langsung dengan atasan Mungkasa (2020)dan rekan kerja mereka, sehingga membuat komunikasi menjadi begitu terbatas. Keterbatasan komunikasi ini dapat disebabkan oleh hal-hal seperti distraksi teknis yaitu gangguan pada jaringan komunikasi dan peralatan kerja yang kurang mendukung sehingga membuat pekerjaan ter-lambat diselesaikan, terlambat dalam pengiriman laporan hasil kerja dan pengiriman informasi penting lainnya. Selain itu, respon yang tidak secara langsung didapat juga membuat pekerjaan menjadi tidak optimal dalam penyelesaiannya (Sabitah & Susilo, 2017). Pekerja yang terbiasa dengan suasana kantor konvensional menjadi kesulitan dalam berkoordinasi dengan rekan kerja. Dibutuhkan penjadwalan kerja yang lebih rapi bahkan mungkin perlu ditetapkan waktu tetap untuk berkumpul di kantor (Mungkasa, 2020).
  6. Ketidakpercayaan antar pihak, Risiko lain dari pelaksanaan WFH adalah adanya ketidakpercayaan yang timbul antara pegawai dengan atasannya atau bahkan instansinya dikarenakan konsep WFH kurang dipahami oleh kedua belah pihak Mayer (1995) dalam (Mustajab et al., 2020). Masih ada yang beranggapan bahwa WFH sama dengan cuti, yang berarti tidak melakukan pekerjaan apapun. (Mustajab et al., 2020) mengungkapkan hal serupa bahwa kendala utamanya pelaksanaan WFH ternyata adalah geger budaya berupa ketidakpercayaan para pimpinan terhadap pegawai. Prosedur yang diterapkan membuat pegawai tidak nyaman disebabkan permintaan untuk melaporkan perkembangan pekerjaan setiap waktu berikut foto keberadaan pegawai.
  7. Produktivitas Pegawai, Melihat dari dampak negatif yang dikemukakan sebelumnya, produktivitas dari kebanyakan pegawai yang menjalankan WFH dapat menurun dikarenakan minimnya fasilitas pendukung kerja seperti komputer, jaringan internet, dan beberapa gangguan seperti kejenuhan karena berada di ling-kungan yang sama dalam jangka waktu yang lama dengan larangan melakukan aktivitas sosial bersama-sama dikarenakan aturan social distancing. Selain itu, bagi pegawai perempuan yang telah berkeluarga dan memiliki anak, bekerja di rumah berdampak pada peran ganda perempuan yang membuat pegawai perempuan menjadi kelebihan beban kerja dan merasakan stress kerja. Selain itu, disrupsi sosial dari keluarga pegawai dan pola pikir kerja yang masih konvensional membuat pegawai kehilangan fokus antara harus bekerja dan menghabiskan waktu bersama keluarga (Mustajab et al., 2020).
Selain itu, terdapat hal lain yang menjadi perdebatan dalam implementasi WFH adalah mengenai ketercapaian work life balance dimana keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan ini seharusnya dirasakan oleh pegawai yang bekerja dari rumah. Tetapi, pada kenyataannya work life balance tidak secara merata dirasakan oleh semua pegawai. Ada hal-hal tertentu seperti status perkawinan dan gender yang menjadi penentu work life balance ini dirasakan manfaatnya oleh pegawai. Pegawai laki-laki dapat lebih dominan merasakan work life balance dibanding pegawai perempuan terutama perempuan yang sudah berkeluarga dan memiliki anak (Mustajab et al., 2020). Hal ini dapat dikarenakan budaya di Indonesia bahwa perempuan di rumah harus melayani suami dan mengurus anak. Akibatnya, pegawai perempuan menjalankan peran dan tugas ganda yang berakibat pada tingginya workload (kelebihan pekerjaan) yang dapat memicu kelelahan dan stress kerja.

Namun berbeda dengan Hendytio (2020) yang menyatakan bahwa bagi pekerja perempuan yang mempunyai anak-anak masih kecil, bekerja dari rumah menjadi kesempatan ideal. Madsen (2003) dalam Hendytio (2020) menyebutkan adanya kebutuhan pekerja perempuan untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan agar terhindar dari konflik keluarga atau konflik peran. Dampak konflik keluarga adalah munculnya tekanan psikologis, depresi, komplain serta kelelahan. Gangguan psikologis lain yang muncul adalah ketidakpuasan bekerja dalam kehidupan keluarga, menurunnya komitmen pada organisasi dan akhirnya keluar dari pekerjaannya.

Diungkapkan oleh White (2020) dalam Hendytio (2020), kemanfaatan WFH tergantung pada pilihan individu itu sendiri sehingga akan menentukan apakah pegawai dapat produktif selama bekerja di rumah ataukah tidak. Pilihan individu ditentukan oleh pola dan gaya bekerja. Keharusan bekerja dari rumah yang ditetapkan oleh pemerintah terkait Covid-19 bagi banyak orang menjadi hal yang tidak menyenangkan, karena mereka tidak bisa bekerja ketika TV di rumah menyala, atau mendengar anak menangis, sehingga pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa. Bagi yang lain, bekerja dari rumah di rasa lebih menyenangkan karena terbebas dari gangguan-gangguan yang biasa muncul di kantor.

Dalam aspek pengawasan/kontrol pekerjaan, Mustajab et al. (2020) menye-butkan bahwa bekerja dari rumah dan tidak berhadapan langsung dengan pengawasan dari atasan membuat pegawai menjadi lebih nyaman dalam bekerja, sehingga timbul kepuasan kerja pada mereka dan membuat mereka menjadi lebih produktif. Namun hal yang berbeda diungkapkan oleh Hendytio (2020) bahwa minimnya pengawasan akibat penyelesaian pekerjaan dari rumah membuat pegawai lalai sehingga mereka menjadi kurang produktif. Di sisi lain, ada beberapa pegawai yang tidak dapat bekerja tanpa pengawasan (Mungkasa, 2020). Selain itu, bagi pekerja yang lokasi rumahnya jauh dari kantor, pelaksanaan WFH berarti penghematan waktu perjalanan yang membuat mereka dapat menjadi lebih produktif. Namun, jika pelaksanaan WFH tidak didukung oleh adanya dukungan peralatan kerja dan jaringan komunikasi serta internet yang memadai, maka penurunan produktivitas pegawai akan terjadi. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Hendytio (2020) bahwa tantangan yang harus dihadapi ASN dalam pelaksanaan WFH sebagaiberikut:
  1. Bekerja dari rumah memerlukan dukungan broadband yang kuat dan stabil, sehingga komunikasi dan koneksi antara pekerja dan kantor tidak terputus. Fasilitas ini harus dimiliki tidak hanya oleh perusahaan, tetapi juga dimiliki secara pribadi oleh pekerja di rumah.
  2. Pekerja perlu memahami kebijakan organisasi terkait keamanan data dan informasi, seperti dalam hal pengiriman dokumen dan media yang digunakan. Ketika komunikasi dan interaksi dilakukan secara virtual, gangguan terhadap keamanan data, dokumen maupun file-file penting yang dipertukarkan secara online dapat terjadi, termasuk menghadapi virus atau gangguan keamanan siber.
  3. Transformasi budaya bekerja di rumah memerlukan perubahan dalam instansi terkait struktur pekerjaan, mekanisme pengawasan dan pendampingan, serta kebijakan-kebijakan lain untuk menjamin produktivitas. Dalam hal ini penentuan KPI (Key Performance Index) atau indeks penilaian kunci perlu dilakukan dengan rigid, terukur disertai dengan monitoring dan evaluasi kinerja secara efektif. Dalam melaksanakan pekerjaan terutama jika diperlukan kerja tim, semangat kerja bersama, solidaritas dan empati diperlukan untuk membangun tim yang kuat.

Bekerja jarak jauh dapat meningkatkan produktivitas dengan meningkatkan kepuasan kerja pegawai melalui work life balance, penghematan waktu perjalanan, dan sedikitnya distraksi yang membuat mereka bisa fokus terhadap pekerjaan dan mengurangi tingkat absensi (OECD Teams, 2020). Berdasarkan uraian tersebut, keberhasilan implementasi WFH dan produktifitas pegawai dapat ditentukan dari seberapa kondusif situasi untuk dapat melakukan pekerjaan dari rumah. Bekerja dari rumah akan memberi kenyamanan dan produktivitas yang berbeda tergantung pada jenis pekerjaan, ketersediaan teknologi, kondisi psikologis dan preferensi individual. Artinya, bekerja dari rumah secara efektif tidak berlaku bagi semua pekerja atau semua jenis pekerjaan (Hendytio, 2020). 

Bekerja dari rumah bagi orang yang tepat akan dapat meningkatkan produktivitas. Pegawai dengan bidang tertentu seperti teknologi informasi, penelitian dan pengembangan, dan profesi lain yang memerlukan detail dan waktu panjang untuk berkonsentrasi akan cenderung cocok bekerja dari rumah, karena mereka dapat memanfaatkan waktu yang seharusnya digunakan untuk perjalanan ke kantor menjadi waktu kerja yang produktif, selain menghindari gangguan-gangguan lain yang muncul jika bekerja di kantor. Bagi organisasi, mengizinkan pegawainya bekerja dari rumah juga memberikan keuntungan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Organisasi dapat menghemat biaya operasional, karena tidak perlu membayar uang transport, uang makan, biaya listrik, dan AC dan biaya operasional yang lain (Hendytio, 2020).

Bekerja dari rumah (WFH) sebagai sebuah konsep flexible working tidak serta merta meningkatkan produktivitas pegawai yang selanjutnya dapat berdampak pada produktivitas organisasi. Konsep kerja ini akan memberikan dampak positif bagi pegawai dan bagi organisasi jika diterapkan pada individu yang tepat. Faktor-faktor seperti jenis pekerjaan, lokasi tempat tinggal, status perkawinan bahkan gender adalah hal yang menjadi pertimbangan penerapan WFH dari sisi individu pegawainya. Artinya, penerapan sistem WFH ini tidak dapat dipukul rata untuk seluruh pegawai. Terlebih lagi pada instansi pemerintah yang memang bergerak di bidang pelayanan publik. Oleh karena itu, perlu adanya kesepakatan mengenai pengaturan jadwal WFH dan WFO untuk menghindari adanya kecemburuan atau perasaan diperlakukan tidak adil dari pegawai. Di samping itu, untuk jenis pekerjaan yang tidak dapat dilakukan di kantor, seperti bidang pekerjaan keamanan, kesehatan, pelayanan dan lainnya, perlu untuk dipikirkan kompensasi yang pantas bagi pegawai yang bekerja di bidang tersebut. 

Dari sisi instansi, perlu adanya dukungan infrastruktur dan kebijakan yang mengatur secara jelas dan tegas perihal penjadwalan kehadiran pegawai, kedisiplinan bekerja, pelaporan kinerja, kompensasi bahkan sanksi seperti hukuman disiplin yang diterima pegawai dalam pelaksanaan WFH.

Berbagai dampak positif dan dampak negatif pada kajian ini perlu dikonfirmasi kembali di lapangan dengan cara melakukan observasi dan pengambilan data agar dapat memotret secara nyata fenomena yang ada dan tidak lagi menimbulkan perdebatan karena adanya realita yang berbeda di lapangan. Misalkan dalam hal ketidakpercayaan antar pihak, yang kemungkinan bisa saja memang sudah terjadi saat kondisi normal sebelum pelaksanaan WFH. Selain itu, terkait dengan adanya penambahan biaya sebagai dampak negatif bagi pegawai saat WFH, maka disisi lain pelaksanaan WFH memberikan dampak positif bagi instansi karena adanya pengurangan biaya operasional. Hal lain yang mungkin masih menimbulkan pertanyaan adalah permasalahan gender, dimana pegawai perempuan yang berstatus menikah dan memiliki anak kemungkinan memiliki perbedaan produktivitas dengan pegawai perempuan yang masih belum menikah.

Tulisan ini hanya sebatas mengumpulkan dan memberikan informasi mengenai implementasi WFH beserta dampak positif, dampak negatif, dan pengaruhnya terhadap produktivitas kerja. Penulis memandang perlu dilakukan penelitian dan pengkajian lanjutan untuk memperoleh data pendukung yang kuat mengenai efektivitas pelaksanaan WFH selama pandemi Covid -19 yang berfokus pada ASN, dan urgensi penerapannya pasca pandemi nanti, agar dapat menjadi rujukan/rekomendasi yang ilmiah dalam penerapan flexible working bagi ASN. Semoga bermanfaat, sekian dan terimakasih.

Artikel ini pernah dipublish pada tanggal 06 Mei 2021 pada website dibawah ini :

https://riau.kemenag.go.id/artikel/43042/Implementasi-Work-From-Home-WFH-Terhadap-Produktifitas-Kinerja-Pegawai


Tidak ada komentar:

Posting Komentar