ABSTRAKS
Perubahan birokrasi tidak terlepas dari kondisi lingkungan, dikarenakan dalam pelaksanaan pembangunan kualitas manusia ini diperlukan sebagai prasyarat mutlak, yakni kemungkinan setiap aparatur sipil negara meningkatkan kapasitasnya. Peningkatan kemampuan aparatur ini akan memungkinkan mereka untuk membantu menentukan masalah-masalah yang akan dipecahkan dalam pelaksanaan pembangunan dan tuntutan kritikal penataan ASN kedepan. Karakteristik baru ditujukan ke arah kemampuan memecahkan masalah-masalah secara efektif dan daya inovatif. Nilai-nilai sentral yang ditanamkan adalah: efektif, efisien, etos profesional, sifat-sifat adaptif, responsif serta keberanian untuk mengambil resiko?
1. Deskripsi Singkat
Penyederhanaan struktur birokrasi membawa 4 elemen penting, yaitu: a. Pidato Presiden pada 20 Oktober 2019 pada acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, beliau menyampaikan “Birokrasi yang panjang harus kita pangkas”. Pernyataan tersebut ada dua relevansi yang akan ditindaklanjuti yaitu Penyederhanaan Esselonisasi (Birokrasi) yang harus disederhanakan, dan Transformasi Jabatan ASN ke Jabatan Fungsional dalam artian yang “menghargai keahlian, menghargai kompetensi” b. Komposisi Jabatan PNS, yang terdiri dari Jabatan Fungsional, Jabatan Pelaksanan dan Jabatan Struktural, c. Prespektif Kepegawaian dalam lingkup penyederhanaan birokrasi mewujudkan birokrasi yang dinamis dan agile, percepatan sistem kerja, fokus dalam pekerjaan Fungsional, Efektifitas dan Efisiensi, Kinerja optimal dan Profesionalitas ASN. d. Langkah kritikal penataan kedepan.
Dari beberapa uraian diatas tulisan ini menyajikan uraian tentang bagaimana membangun jiwa kewirausahaan dalam tubuh birokrasi yang nota bene memiliki karakteristik yang spesifik. Dewasa ini entrepreneurship menjadi sebuah kebutuhan bagi para personel, karena hampir semua jenis organisasi besar berhubungan dengan pengelolaan resources (sumber-sumberdaya) dari mulai input menjadi output organisasi yang dengan menerapkan prinsip-prinsip birokrasi modern sebagai langkah pembaharuan kedepan.
Perkembangan birokrasi di Indonesia dalam menjalankan misinya, kini masih sangat mekanistik dan cenderung lebih mengorientasikan pada produktivitas yang bersifat materialistik sehingga menimbulkan dehumanisasi. Model organisasi humanistis sebagai model alternatif, lebih mengedapankan nilai kualitas dan eksisten seorang yang dilihat dari segi kemanfaatannya, kompetensinya, profesionalitas dan komitmennya pada kemajuan organisasi daripada sebagai mesin produksi dalam pencapaian tujuan organisasi semata. Dengan demikian nilai-nilai humanis haruslah menjadi nilai yang inherent dalam pengembangan organisasi birokrasi ke depan.
Salah satu kualitas sumberdaya birokrasi yang dituntut dalam good governance adalah kualitas entreprenerial yang dapat menjembatani antara negara (state) dengan civil society dan pasar. Karena dalam pengaturan pemerintahan yang baik memungkinkan layanan publik yang efisien, berkinerja organisasi yang tinggi dengan menggunakan sumberdaya secara optimal sesuai dengan nilai-nilai humanistik.
Intrepreneurship adalah kemampuan yang kuat untuk berkarya dengan semangat kemandirian termasuk keberanian untuk mengambil resiko usaha dan meminimalisasi resiko tersebut menjadi keuntungan. Pada saat sekarang, entrepreneurship menjadi kebutuhan bagi para personel, karena hampir semua jenis organisasi besar berhubungan dengan pengelolaan input menjadi output organisasi yang diselenggarakan dengana menggunakan prinsip-prinsip organisasi, efektivitas dan produktivitas.
Entrepreneurship terjemahan dari istilah Prancis yang kemudian diterima dalam bahasa Inggris maupun Indonesia, yaitu entrepreneur, yang mengandung arti sebagai a person in effective control of commercial undertaking. Istilah entrepreneur, menurut Burch (1986), dimaksudkan sebagai seseorang yang tidak hanya menjalankan atau memimpin suatu perusahaan dengan baik, melainkan seseorang yang berani mengambil inisiatif guna mengembanagkan dan memajukan usahanya dengan menggunakan atau bahkan menciptakan lapangan-lapangan kerja baru.
Dalam rangka tindakannya itu, ia sudah harus memperhitungkan resiko dengan cermat. Beberapa asas entrepreneurship, menurut Burch, antara lain dikemukakan sebagai kemampuan berpikir dan bertindak kreatif dan inovatif, bekerja secara teliti, tekun, dana produktif. Jiwa-jiwa inilah yang dapat mengantarkan individu ASN kedalam pengambilan peran dalam berkarya dan mengendalikan sumber-sumber yang dimiliki (resources) ke dalam proses produktif.
Dalam konteks kelahirannya, jiwa entrepreneurship ini lebih banyak dibutuhkan kalangan industriawan dan bisnisman (BUMN), atau bahkan untuk usaha mandiri perseorangan, dan tidak untuk organisasi dan pegawai publik, seperti pegawai pemerintah. Namun pada perkembangan sekarang ini, sektor pemerintahan seharusnya juga mengambil peran aktif dalam pengelolaan bidang-bidang bisnis baik secara langsung maupun melalui kerja sama mereka dengan para pengusaha. Bahkan adalah keniscayaan bagi negara (pegawai), dalam negara yang sumberdaya alamnya melimpah dan luas bidang sektornya untuk mengoptimalisasikan secara efisien untuk sebesarbesarnya kemakmuran masyarakat.
Sebagaimana dikatakan Peter Drucker (1999) dalam The sage of Management Theory, “The most entreprenurial, innovative people be have like the worst time surving bureaucrat of power hungry politicion six month after they have taken over the management of public service institution. Selanjutnya ia mengatakan bahwa semua orang mungkin menjadi seorang entrepeneur jika organisasinya menyelenggarakan sistem manajemen entrepreneurship. Sebaliknya hampir semua entrepreneur dapat berubah menjadi seorang birokrat organisasinya menyelenggarakan kebiasaan birokratik.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jiwa entrepreneurship amat dipengaruhi model organisasinya. Sebelumnya, peran organisasi publik dan pegawai pemerintah lebih diasumsikan untuk melayani masyarakat (public service), dengan sedikit meninggalkan orientasi input. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa organisasi pemerintah yang akan datang membutuhkan nilai entrepreneurship ke dalam sistem manajemennya. Dalam kaitan tersebut, adalah niscaya dibutuhkan jiwa entrepreneurship yang positif sesuai dengan aturan-aturan kelembagaan dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, termasuk di dalamnya mencari input-input yang sah dalam rangka memperkuat organisasi.
2. Tantangan Birokrasi Indonesia
Perkembangan manajemen pemerintahan di Indonesia dan juga para aparatur negara masih belum menampakkan pergeseran ke arah kondisi tantangan luar (erxternal challenges) berupa perkembangan sistem komunikasi, teknologi dan pendekatan-pendekatan baru dalam pemerintahan. Hal ini lebih terasa pada level pemerintahan menengah ke bawah di mana persepsi tentang aparatur birokrasi adalah warga yang status tinggi dan harus memperoleh penghargaan yang sewajarnya dari masyarakat yang dipimpinnya masih melekat kuat. Tidak dapat dipungkiri sebagian besar jumlah pegawai kita terutama di tingkat menengah ke bawah adalah mereka yang memiliki pengalaman dan masa pengabdian yang lama daripada mereka yang memiliki pendidikan yang memadai dalam rangka mengisi dan mengembangkan metode pendekatan baru dalam pembangunan. Oleh sebab itu, ditengarai bahwa pegawai kita yang jumlahnya besar itu kurang bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan di sekitarnya.
Dwight Waldo, ahli administrasi dan manajemen memberi gambaran tentang pentingnya manajemen modern yang dipakai sebagai sistem penyangga dari semakin meningkatnya tuntutan akan pelayanan publik (public services) pada negara-negara yang sedang berkembang yang akan datang. Waldo mengingatkan, bahwa dalam perkembangan sekarang, para pengelola negara mesti mempunyai dan mengembangkan visi-visi baru pelayanan kepada masyarakat-visi aparatur modern-yang mendukung meluas dan kompleksnya tuntutan internal dan eksternal organisasi publik maupun bisnis. Dwight Waldo (1980, 70) menulis, willy-nilly; administration is every one concern, if we wish to survive, we have batter be intellegent about it.
Dalam tahap sekarang, perubahan budaya-budaya sosial, tidak saja terjadi pada masyarakat bisnis, juga pada masyarakat publik (birokrasi). Di samping itu gaya penampilan (performance) dari aparatur birokrasi modern telah sampai pada tuntutan sebagai aparatur modern yang siap mendukung semakin kompleksnya masyarakat ‘yang diperintah’. Visi baru itu menyangkut tiga hal/ Pertama, their doing, yaitu cara kerja mereka; Kedua, kapasitas yang menyangkut skil and attitude; dan Ketiga, wawasan pemerintahan yang luas yang menyangkut pendekatan (approahes) baru dalam merumuskan dan memecahkan masalah.
Pada saat berbagai item pembangunan dipacu dengan cepat, laju komunikasi dan transportasi yang tak terkirakan (the unprecedented speed of communiation and transportation), meningkatnya tensi-tensi politik dalam negeri serta kompleksitas masyarakat, maka para aparatur negara dalam birokrasi dihadapkan tantangan baru dalam era birokrasi modern. Yang dimaksudkan dengan birokrasi modern ialah birokrasi di mana nuansa kerja dan orientasinya berdasarkan kaidah-kaidah organisasi modern yang tak saja mekanistis (sesuai prosedur) melainkan yang organis-adaptis (saxena, Bennis), 1969), yaitu organisasi birokrasi yang lebih terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas aparat, mempunyai hubungan yang lebih longgar dan terbuka.
Demikian pula ahli birokrasi dan komunikasi, Adam Ibrahim Indrawijaya mengutip tulisan Wendell French menyebutkan “Organization development refers to cope with changes in it’s external environment…..”. Dalam kaitan tersebut dibutuhkan orang-orang yang mendukung organisasi yang berubah menuju modern tersebut.
Dalam rangka untuk mendukung keandalan organisasi yang modern dibutuhkan 3 hal: (1) Personel yang mempunyai dalam jumlah yang cukup; (2) Sarana dan sistem yang mendukung (enabling system); dan (3) Komitmen baru dan tradisi birokrasi yang berwawasan kerakyatan. Sebagaimana dikatakan Douglas Yetes (1982) saat membahas tentang birokrasi dan demokrasi untuk pemerintah AS, menyangsikan ketemunya dua nuansa keluwesan dana kepastian dalam birokrasi (Sintesa No. 10 th. 2 1994). Secara teoritis untuk memacu (racing) kemajuan yang demikian pesat, birokrasi seharusnya dapat mengimbangi perkembangan praktik-praktik yang menjadi tanggung jawabnya.
Persyaratan pokok agar bisa mengimbangi perkembangan masyarakat adalah penekanan pada aparat birokrasi untuk dapat mengatasi atau memperbaiki proses dan struktur birokrasi yang secara aslinya (an sich) kaku rigid. Apabila kelemahan proses yang rigid tersebut tidak diimbangi oleh nuansa prakarsa aparat yang lebih bebas (self qrowth) tentu akan terjadi lack antara teori dan praktek birokrasi semestinya.
Dalam kaitannya dengan peran sistem administrasi negara ini, ada beberapa hambatan pada sistem yang perlu dihilangkan agar pembangunan kualitas manusia dapat terlaksana dengan baik. Hambatan paling utama adalah semakin lestarinya rutinisasi tugas-tugas pembangunan serta penekanan yang terlalu berlebihan pada pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada pejabat atasan dan penilaiana prestasi kerja petugas pelaksana atas dasar keberhasilan dalam mencapai target.
Secara garis besar hambatan-hambatan pada sistem administrasi pembangunan bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni: hambatan proses dan hambatan orientasi (Saxena, 1986: 49). Hambatan proses mencakup baik aspek prosedur dan struktur. Birokratisasi dan sentralisasi yang kuat dalam pengelolaan pembangunan telah menimbulkan struktur birokrasi yang amat hirarkis dan legalistik, sehingga prosedur lebih bertujuan untuk memenuhi tuntutan struktur daripada manfaat. Fleksibilitas dan arus komunikasi yang lancar, yang amat diperlukan dalam penyelenggaraan program pembangunan menjadi terhambat, dan dalam birokrasi pembangunan yang luar biasa besarnya di Indonesia, prosedur menjadi amat kaku dan lamban. Yang lebih parah, prosedur yang mencekik ini ditumpangi kepentingan pribadi dan dijadikan komoditi yang diperdagangkan untuk keuntungan pribadi maupun kelompok.
Peranan birokrasi pemerintah yang kuat dan dominan dalam pengelolaan program pembangunan juga telah menimbulkan etos kerja yang memaksa para aparat untuk mempertahankan status quo. Sifat yang menonjol adalah semangat untuk mempertahankan keadaan dan kurang mementingkan kemajuan yang identik dengan perubahan yang terus menerus. Orientasi status quo ini tumbuh sangat subur dalam suatu sistem administrasi yang menggunakan prinsip kemampuan pencapaian target atau delapan sukses dan akuntabilitas kepada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi sebagai dasar penilaian prestasi kerja pejabat bawahan. Kelemahan-kelemahan proses maupun orientasi yang terdapat pada sistem administrasi ini, menyebabkan semakin kerasnya tuntutan akan adanya upaya intervensi baik berupa debirokratisasi, deregulasi, privatisasi maupun peningkatan kapasitas birokrasi pemerintah agar organisasi ini mampu mengelola pembangunan kualitas manusia.
Bagaimana struktur organisasi yang mampu untuk merangsang partisipasi yang merupakan syarat mutlak bagi pembangunan kualitas manusia? Dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan sebagai upaya peningkatan kapasitas, sifat-sifat birokrasi pemerintah yang stabil mekanisnistis tak mungkin dihilangkan keseluruhan. Sifat tersebut hanya dapat dikurangi dan dapat diganti dengan organisasi yang lebih bersifat organis-adaptif (Saxena, ibid; dan Bernnis; 1969), yaitu organisasi yang lebih terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas, serta mampu melaksanakannya. Struktur birokrasi yang organi-adaptif ini mempunyai pola hubungan yang lebih longgar dan terbuka terhadap pengaruh dari luar. Partisipasi dalam perumusan tujuan menjadi lebih besar sehingga terbuka kesempatan yang luas untuk keterlibatan dari bawah (bottom-up) maupun dari atas (top-down).
3. Menuju Birokrasi Humanis
Pemahaman mengenai model birokrasi di era selanjutnya menjadi sangat penting sejalan dengan pergeseran pusat perhatian terhadap masalah-masalah di sekitar peningkatan kualitas kehidupan politik menyertai sukses-sukses pembangunan ekonomi telah dicapai. Bahwa sosok birokrasi sekarang ini masih menampilkan karakteristik patrimonial adalah realitas benang sejarah yang perlu dicermati secara hati-hati. Model birokrasi tradisional dan kolonial yang paternalistik cenderung mengalami esistensi sampai sekarang, dan kadang-kadang mengambil bentuk ekspresi yang baru (neotradisional).
Hal ini menjadi persoalan, di mana tuntutan kualitas kehidupan politik menghendaki adanya desentralisasi dan partisipasi arus bawah yang lebih luas. Di samping itu, pengembangan untuk memodernisasi birokrasi menuntut adanya peningkatan kualitas administrasi dan manajemen. Namun prinsip-prinsip seperti pendelegasian wewenang, pengembangan profesionalisme, dan pengembangan sumbersya aparat, terhambat oleh kecenderungan praktek-praktek patrimonial yang masih menonjol, seperti tercermin dalam sistem rekruitmen pada jajaran birokrasi.
Kehadiran birokrasi di tengah-tengah masyarakat politik merupakan conditio sine qua non. Yang menjadi persoalan adalah sentralisasi dan konsentrasi peran birokrasi dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat dan negara. Dalam kondisi demikian, birokrasi menjadi tidak fungsional lagi untuk melayani kepentingan masyarakat. Birokrasi sering memperlihatkan dirinya sebagai tuan atau bos yang berwewenang mengatur, mengendalikan, dana mengontrol politik rakyat.
Padahal jika dilihat dalam konteks hubungan kekuasan, birokrasi pada dasarnya merupakan mata rantai yang menghubungkan pemerintah dengan rakyatnya. Birokrasi pada dasarnya merupakan alat pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam posisi demikian, maka tugas birokrasi adalah merealisasikan setiap kebijakan pemerintah dalam pencapaian kepentingan masyarakat. Sebagai alat pemerintah, jelas birokrasi tidak mungkin netral dari pengaruh pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa birokrasi tidak memiliki kemandirian. Justru karena tugasnya sebagai alat pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat inilah, maka diperlukan kemandirian birokrasi. Di sinilah letak seninya aparat birokrasi itu. Seperti dicitrakan dalam konsep “Hegelian Bureaucracy”, birokrasi seharusnya menempatkan dirinya sebagai mediating agent, jembatan antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah.
Kemandirian birokrasi bisa dijelaskan dengan adanya netralitas pengaruh pemerintah, meski ia adalah alat bagi pemerintah. Tolok ukurnya ialah sejauh mana birokrasi bisa berpihak pada kepentingan masyarakat dan melalayni masyarakat. Dengan demikian, dalam ketidaknetralannya tersebut, birokrasi tetap memiliki kemandirian fungsional, yaitu melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Ia menempatkan dirinya lebih sebagai abdi masyarakat daripada abdi negara, atau setidaknya ada keseimbangan antara keduanya.
Dalam hubungannya dengan sistem politik, bangun ideal birokrasi dalam konteks hubungan kekuasaan adalah, bahwa birokrasi haruslah apolitis, dalam pengertian bahwa tugasnya melayani masyarakat secara keseluruhan harus dibebaskan dari pengaruh interest tertentu pemerintah selaku pemberi tugas. Dalam pengertian ini, kehadiran birokrasi seharusnya tidak mencitrakan diri sebagai new political power (kekuatan politik baru) dalam peta politik yang ada. Lebih-lebih jika kemudian menobatkan diri secara meyakinkan sebagai gurita politik yang mendominasi seluruh perikehidupan politik.
Sementara itu, untuk mengikis pengaruh minor neotradisionalisme birokrasi, maka hal yang penting dalam birokrasi adalah suatu transformasi budaya birokrasi yang mewarisi semangat kerajaan dan kolonial menuju budaya birokrasi modern yang organi adaptif yang dikehendaki adalah birokrasi yang terbuka terhadapa gagasan inovatif, peka terhadap perubahan-perubahan lingkungannya, penekanan pada peningkatan produktivitas, profesionalisme, pelayanan dan peningkatan kualitas sumberdaya aparatnya. Model birokrasi demikian seperti dutulis Saxena akan kenyataan terhadap goncangan dana ketidakpastian yang melanda lingkungannya. Berbeda dengan model Weber yang terkesan mekanistis dalam model organis-adaptif ini pola hubungan antar jenjang hirarki relatif lebih longgar tidak terkungkung pada prosedur-prosedur administratif yang formalistis, sementara itu unsur-unsur dalam sistem birokrasi mempunyai peluang untuk berhubungan dengan pihak luar. Tujuan dan nilai-nilai akan diserasikan sehingga birokrasi menjadi sebuah institusi yang terus menerus mencari hal-hal baru, menyesauikan diri dengan perkembangan, dan selalu belajar dari pengalaman masa lalu.
Karakteristik baru ditujukan ke arah kemampuan memecahkan masalah-masalah secara efektif dan daya inovatif. Nilai-nilai sentral yang ditanamkan adalah: efektif, efisien, etos profesional, sifat-sifat adaptif, responsif serta keberanian untuk mengambil resiko. Partisipasi dalam proses perumusan tujuan melebar dan keterlibatan aparat birokrasi berlangsung dari bawah ke atas (bottom up) maupun sebaliknya (topdown).
Dengan demikian, model organis-adaptif ini merupakan model alternatif terhadap upaya transformasi nilai-nilai neotradisionalisme birokrasi menuju ide-ide modernisasi birokrasi dengan mengacu pada pembangunan kualitas sumberdaya manusia.
Model organis adaptif ini sekaligus mendobrak model modernisasi legal-rasional ala Weberian yang terkesan mekanistis. Dalam model kemanistis ini, nilai seorang lebih dilihat dari segi kemanfaatannya, sehingga nilai-nilai manusia seringkali tidak ditempatkan secara proporsional. Hakekat manusia sering mengalami degradasi menjadi sekedar pemaksimum manfaat (utility maximizer) atau menjadi mesin pencapaian tujuan belaka. Manusia kehilangan otonomi dalam menentukan pilihannya untuk beraktualisasi, dan pada gilirannya mengalami proses dehumanisasi.
Proses dehumanisasi jelas tidak sesuai dengan ide pengembangan kualitas sumberdaya manusia dan demokratisasi. Karenanya nilai-nilai humanis haruslah menjadi nilai yang inherent dalam model birokrasi organis adaptif.
Para penganjur humanis organisasi seperti McGregor, Golembiewski, Argyris, Morgan, Bryan and White, soedjatmoko, Korten dan lainnya, dengan satu dan lain formasi telah menempatkan dimensi manusia sebagai titik sentral konstruksi pemikiran mereka. Unsur-unsur paling inti dari nilai human ini dapat dirumuskan dalam tiga nilai inti, ialah: kesejahteraan hidup, harga diri, dana kebebasan.
Dimensi humanistis tidak dapat diwujudkan jika ketiga nilai human itu selalu ditawar dan ditundukkan pada nilai-nilai lainnya atas nama modernisasi atau rasionalitas. Kebebasan dan harga diri merupakan landasan untuk menciptakan kondisi kelestarian pertumbuhan potensi manusia. Tidak ada sumber harga diri yang begitu asasinya bagi perkembangan manusia, seperti rasa mandiri dan rasa percaya diri, tidak saja untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri tetapi juga untuk menyumbang dan melayani orang lain dan masyarakat. Akhirnya, secara ringkas dapat disimpulkan, bahwa model birokrasi yang harus dibangun untuk menjawab persoalan di era berikut adalah yang mempunyai karakteritik organis adaptif, apolitis, netral, berorientasi pada pelayanan, mempunyai sifat-sifat seperti diuraikan dalam konsep penjelasan diatas.
4. Penutup.
Dari apa yang telah dipaparkan diatas, ada beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan:
- Organisasi pemerintahan yang akan datang membutuhkan nilai entrepreneurship ke dalam sistem manajemennya sesuai dengan aturan-aturan kelembagaan dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, termasuk di dalamnya mencari input-input yang sah dalam rangka memperkuat organisasi.
- Perubahan sosial budaya, tidak saja terjadi pada masyarakat bisnis, juga pada masyarakat publik (birokrasi). Di samping itu gaya penampilan (performance) dari aparatur birokrasi modern telah sampai pada tuntutan sebagai aparatur modern yang siap mendukung semakin kompleksnya masyarakat ‘yang diperintah’ . Visi baru itu menyangkut tiga hal utama, meliputi cara kerja aparat; kapasitas yang menyangkut skil and attitude; dan wawasan pemerintahan yang luas yang menyangkut pendekatan (approahes) baru dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik.
- Dalam hubungannya dengan sistem politik, model ideal birokrasi dalam konteks hubungan kekuasaan kembali birokrasi haruslah apolitis. Ini berarti bahwa tugas melayani masyarakat secara keseluruhan harus dibebaskan dari pengaruh interest tertentu pemerintah selaku regulator, sehingga kehadiran birokrasi tidak mencitrakan diri sebagai new political power (kekuatan politik baru) dalam peta politik yang ada.
- Model organis-adaptif merupakan model alternatif terhadap upaya transformasi nilai-nilai neo-tradisionalisme birokrasi menuju ide-ide modernisasi birokrasi dengan mengacu pada pembangunan kualitas sumberdaya manusia.
- Model organis adaptif ini sekaligus mendobrak model modernisasi legal-rasional ala Weberian yang terkesan mekanistis. Model organisasi humanistis lebih mengedapankan nilai kualitas dan eksisten seorang yang dilihat dari segi kemanfaatannya, kompetensinya, profesionalitas dan komitmennya pada kemajuan organisasi daripada sebagai mesin produksi dalam pencapaian tujuan organisasi semata. Dengan demikian nilai-nilai humanis haruslah menjadi nilai yang inherent dalam pengembangan organisasi birokrasi ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
- Burch, G. John, 1986, Entrepreneurship, John Wiley and Sons. Inc.
- Drucker, Peter ,1999 , The sage of Management Theory, London: Heinemann.
- Indrawijaya, Adam Ibrahim,1989, Perubahan dan Pengembangan Organisasi,Bandung, Sinar Baru.
- Kumorotomo, Wahyudi, 2004, Etika Admisitrasi Negara, Jakarta, Radja Grapindo Persada.
- Osborne,David and Ted Gaebler, 1993, Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, USA : A Plume Book.
- Tjokrowinoto, Moelyarto, 2001, Birokrasi dalam Polemik, Yogyakarta,Pustaka Pelajar.
- Waldo, Dwight, 1980, The Interprise of Public Administration, California Chandler & Sharp Published Inc.
Artikel ini pernah dipublish
pada tanggal 20 September 2021 pada website dibawah ini :
https://riau.kemenag.go.id/artikel/43078/Peran-Entrepreneurship-dalam-Tatanan-Birokrasi-Humanistik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar