Tuntutan perubahan terjadi pada setiap aspek dalam penataan organisasi pemerintah meliputi aspek kehidupan dan perubahan akan perilaku Pegawai Negeri Sipil, maka tuntutan tersebut menuntut adanya penyesuaian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan. Di masa transisi reformasi, sistem kepegawaian mengalami perubahan yang ditandai dengan perubahan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1975 diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Pada masa Orde Baru sistem pemerintahan lebih sentralistik, dimana kewenangan pusat jauh lebih besar dibanding dengan kewenangan daerah, termasuk kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam hal pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian. Saat ini pembahasan mengenai kepegawaian yang dikenal dengan Aparatur Sipil Negara semakin disempurnakan dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, dimana undang-undang ini membawa perubahan dalam hal kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), dalam artian Undang Undang ASN ini dapat memberikan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan dalam pengangkatan, pemindahan maupun pemberhentian.

Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik, seperti menandatangani/menerbitkan surat-surat izin dari seorang pejabat (eselon) atas nama Menteri, sedangkan kewenangan tetap berada pada Menteri. Kewenangan merupakan kekuasaan legislatif atau kekuasaan eksekutif administrasi. Kewenangan terdiri dari beberapa wewenang. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara mulai dibedakan mana Pejabat yang berwenang dan mana Pejabat Pembina Kepegawaian. Yang dimaksud dalam pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pegawai ASN (Aparatur Sipil Negara) sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Sejak terbitnya persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam Surat Nomor B/211/M.KT.01/03/2018, tanggal 21 Maret 2018, perihal penyempurnaan Nomenklatur Jabatan dan Penajaman Tugas dan Fungsi Organisasi Instansi Vertikal Kementerian Agama maka lahirlah Peraturan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama dan Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Agama yang ditetapkan pada tanggal 30 September 2019. Berdasarkan kebijakan Menteri Agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut tertuang salah satu tugas Kementerian Agama dalam wilayah provinsi. Dalam melaksanakan tugas, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi menyelenggarakan fungsinya sebagai berikut:
  1. Perumusan dan penetapan visi, misi, dan kebijakan teknis di bidang pelayanan dan bimbingan kehidupan beragama kepada masyarakat di provinsi.
  2. Pelayanan, bimbingan, dan pembinaan kehidupan beragama.
  3. Pelayanan, bimbingan, dan pembinaan haji dan umrah, serta zakat dan wakaf;
  4. Pelayanan, bimbingan, dan pembinaan pendidikan madrasah, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan.
  5. Pembinaan kerukunan umat beragama.
  6. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengelolaan administrasi dan informasi.
  7. Pengkoordinasian perencanaan, pengendalian program, dan pengawasan; dan
  8. Pelaksanaan hubungan dengan pemerintah daerah, instansi terkait, dan lembaga masyarakat dalam rangka pelaksanaan tugas Kementerian Agama di provinsi.
Kepastian hukum bagi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan kewenangan yang dimiliknya, tidak berarti bahwa kewenangan yang digunakan tanpa batas, tanpa mengindahkan asas hukum yang berlaku sesuai dengan regulasi dan peraturan yang berlaku. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 492 Tahun 2003 tentang Pemberian Kuasa dan Pendelegasian Wewenang Pengangkatan Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Dilingkungan Departemen Agama yang terbit pada tanggal 08 Oktober 2003 masih berlaku dan belum dicabut. Beberapa penjelasan terkait pendelegasian wewenang di tingkat Kantor Wilayah Kementerian Agama sebagai berikut:

A. Pendelegasian wewenangan dilingkungan Kantor Wilayah

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Riau mempunyai wewenang dalam hal sebagai berikut:
  1. Pengangkatan CPNS pada gol/ruang III/c kebawah.
  2. Pengangkatan menjadi PNS pada CPNS gol/ruang III/b s.d III/c, CPNS gol/ruang III/a pada MAN dan CPNS gol/ruang III/a kebawah.
  3. Kenaikan Pangkat pada PNS gol/ruang III/a s.d III/c dan PNS gololngan I dan II.
  4. Peninjauan Masa Kerja pada PNS gol/ruang III/a s.d III/c dan PNS gololngan I dan II.
  5. Pindah dalam satuan kerja pada PNS gol/ruang III/d ke bawah.
  6. Pindah antar Kabupaten/Kota pada PNS gol/ruang III/d kebawah dan PNS gololngan I dan II.
  7. Pencabutan/pembatalan CPNS pada PNS gol/ruang III/a s.d III/c dan PNS gololngan I dan II.
  8. Pemberhentian dengan hormat atas permohonan sendiri tanpa hak pensiun pada PNS gol/ruang III/a s.d III/d dan PNS gololngan I dan II.
  9. Pemberhentian dengan hormat atas permohonan sendiri dengan hak pensiun (APS) pada PNS gol/ruang III/c kebawah.
  10. Pembebastugasan dalam rangka pensiun pada PNS gol/ruang III/a s.d III/d dan PNS gololngan I dan II.
  11. Pengangkatan dalam jabatan fungsional pada Pejabat fungsional golongan III dan II.

Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 489 Tahun 2003 tentang Pendelegasian Wewenang Penjatuhan Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dilingkungan Departemen Agama terdapat beberapa penjelasan terkait pendelegasian wewenang di tingkat Kantor Wilayah Kementerian Agama sebagai berikut:
  1. Teguran lisan pada Pejabat Struktural Eselon III dan Pejabat Fungsional yang jenjang setingkat dengan golongan IV.
  2. Teguran tertulis pada Pejabat Struktural Eselon III dan Pejabat Fungsional yang jenjang setingkat dengan golongan IV.
  3. Pernyataan tidak puas secara tertulis pada Pejabat Struktural Eselon III dan Pejabat Fungsional yang jenjang setingkat dengan golongan IV.
  4. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) Tahun pada Pejabat Struktural Eselon III dan Pejabat Fungsional yang jenjang setingkat dengan golongan IV.
  5. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu Tahun pada Pejabat Struktural Eselon III dan Pejabat Fungsional yang jenjang setingkat dengan golongan II, III dan IV.
  6. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu Tahun pada Pejabat Struktural Eselon III dan Pejabat Fungsional yang jenjang setingkat dengan golongan II, III dan IV.
Terkait pendelegasian wewenang di tingkat Kantor Wilayah Kementerian Agama berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 489 Tahun 2003 tentang Pendelegasian Wewenang Penjatuhan Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dilingkungan Departemen Agama khusus pelanggaran disiplin sedang dan berat di atur dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2012 tentang Pendelegasian Wewenang Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin Sedang Dan Berat Yang Diduga Dilakukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dilingkungan Departemen Agama.

B. Kewenangan Pelaksana Harian

Pelaksana Harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara dan tidak berwenang mengambil keputusan dan/ atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi kepegawaian dan alokasi anggaran. Kewenangan Pelaksana harian sebagai berikut:
  1. Melaksanakan tugas sehari-hari pejabat definitif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian prestasi kerja pegawai.
  3. Menetapkan surat kenaikan gaji berkala.
  4. Menetapkan cuti selain cuti di Luar Tanggungan Negara dan cuti yang akan dijalankan di luar negeri.
  5. Menetapkan surat tugas/ surat perintah pegawai.
  6. Menjatuhkan hukuman disiplin pegawai tingkat ringan.
  7. Menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar instansi.
  8. Memberikan izin belajar; dan
  9. Mengusulkan pegawai untuk mengikuti pengembangan kompetensi.

C. Kewenangan Pelaksana Tugas

Pelaksana Tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap dan tidak berwenang mengambil keputusan dan/ atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi kepegawaian dan alokasi anggaran. Kewenangan Pelaksana Tugas sebagai berikut:
  1. Melaksanakan tugas sehari-hari pejabat definitif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian prestasi kerja pegawai.
  3. Menetapkan surat kenaikan gaji berkala.
  4. Menetapkan cuti selain cuti di Luar Tanggungan Negara dan cuti yang akan dijalankan di luar negeri.
  5. Menetapkan surat tugas/ surat perintah pegawai.
  6. Menjatuhkan hukuman disiplin pegawai tingkat ringan.
  7. Menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar instansi.
  8. Memberikan izin belajar; dan
  9. Mengusulkan pegawai untuk mengikuti pengembangan kompetensi.

Berdasarkan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (7) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa Pelaksana Tugas melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap. Keputusan/tindakan yang bersifat strategis adalah keputusan tindakan yang memiliki dampak yang besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah. Perubahan status hukum kepegawaian adalah melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai. Pelaksana Tugas tidak berwenang mengambil keputusan dalam aspek kepegawaian meliputi pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pegawai. PNS atau Pejabat yang menduduki jabatan pimpinan tinggi, jabatan admnistrator, atau jabatan pengawas hanya dapat diperintahkan sebagai pelaksana harian atau pelaksana tugas dalam jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrator, atau jabatan pengawas yang sama atau setingkat lebih tinggi di lingkungan unit kerjanya.

Maksud dan tujuan dari penunjukan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas adalah agar proses kerja, tugas, dan fungsi dapat tetap berjalan efektif meskipun pejabat definitif berhalangan serta memberikan kejelasan mengenai pejabat yang dapat ditunjuk menjadi Pelaksana Tugas maupun Pelaksana Harian, khususnya setelah dilakukannya penyetaraan jabatan dalam rangka penyederhanaan birokrasi. Maksud dari "keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis" adalah keputusan dan/atau tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan "perubahan status hukum kepegawaian" adalah melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai.

Dalam Pasal 67 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020, disampaikan bahwa Pejabat Fungsional berkedudukan di bawah dan bertanggung secara langsung kepada pejabat pimpinan tinggi madya, pimpinan tinggi pratama, pejabat administrator, atau pejabat pengawas yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas Jabatan Fungsional. Jabatan Fungsional berkedudukan dan bertanggung jawab secara langsung dan disesuaikan dengan struktur organisasi masing-masing instansi pemerintah.

Apabila terdapat pejabat yang tidak dapat melaksanakan tugas atau terdapat kekosongan pejabat karena berhalangan sementara atau berhalangan tetap, dan untuk tetap menjamin kelancaran pelaksanaan tugas, maka pejabat pemerintah di atasnya agar menunjuk pejabat lain di lingkungannya sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas. Penunjukan Pegawai Negeri Sipil sebagai Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas tidak perlu ditetapkan dengan keputusan melainkan cukup dengan Surat Perintah dari Pejabat lebih tinggi yang memberikan mandat. Hal ini karena Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas bukan jabatan definitif, oleh karena itu Pegawai Negeri Sipil yang diperintahkan sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas tidak diberikan tunjangan jabatan sehingga dalam surat perintah tidak dicantumkan besaran tunjangan jabatan struktural. Pegawai Negeri Sipil yang ditunjuk sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas tidak perlu dilantik atau diambil sumpahnya.

Pengangkatan sebagai Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas tidak boleh menyebabkan yang bersangkutan dibebaskan dari jabatan definitifnya dan tunjangan jabatannya tetap dibayarkan sesuai tunjangan jabatan definitifnya. Pegawai Negeri Sipil yang ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas melaksanakan tugasnya untuk paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan. Pegawai Negeri Sipil yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrator, Jabatan Pengawas, atau Jabatan Pelaksana hanya dapat ditunjuk sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas dalam Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrator, Jabatan Pengawas yang sama atau setingkat lebih tinggi di lingkungan unit kerjanya.

Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan fungsional dapat ditunjuk sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Pejabat fungsional jenjang ahli utama dapat ditunjuk sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas Jabatan Pimpinan Tinggi Madya, Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama, Jabatan Administrator, atau Jabatan Pengawas. Pejabat fungsional jenjang ahli utama akan ditunjuk sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas Jabatan Pimpinan Tinggi Utama, maka harus ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
  2. Pejabat fungsional jenjang ahli madya dapat ditunjuk sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama, Jabatan Administrator, atau Jabatan Pengawas.
  3. Pejabat fungsional jenjang ahli muda dapat ditunjuk sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas Jabatan Administrator atau Pengawas.
  4. Pejabat fungsional jenjang ahli pertama dapat ditunjuk sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas Jabatan Pengawas.

Pendelegasian wewenang dan kewenangan pelaksana harian dan pelaksana tugas yang ditetapkan berdasarkan Surat Perintah dari Pejabat lebih tinggi yang memberikan pendelegasian kewenangan harus diawasi dan dikendalikan agar tidak terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang, sehingga tidak sesuai dengan tujuan kewenangan itu sendiri.

Regulasi yang digunakan:
  1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
  2. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020.
  4. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke Dalam Jabatan Fungsional.
  5. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 492 Tahun 2003 tentang Pemberian Kuasa dan Pendelegasian Wewenang Pengangkatan Pemindahan dan Pemberhentian Pengawai Negeri Sipil di Lingkungan Departemen Agama.
  6. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 489 Tahun 2003 tentang Pendelegasian Wewenang Penjatuhan Hukuman Disiplin Pengawai Negeri Sipil di Lingkungan Departemen Agama.
  7. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2012 tentang Pendelegasian wewenang pemeriksaan pelanggaran disiplin sedang dan berat yang diduga dilakukan pegawai negeri sipil (PNS) dilingkungan Departemen Agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar